Pada saat survey pada suatu penilaian aset, selalu terlintas dalam pikiran kira :
Berapakah nilai pasaran tanah di daerah sini ?
Ada data dijual tidak ya...?
Ada transakasi penjualan tanah tidak ya...?
Holiday To Bali
Download Free Music
Download Hot Video
Enjoy your Holiday
Listen to free music downloads online! Search over 30000 Free MP3 Downloads, find songs, artists, genres and more - Free Legal Music Downloads site for ...
Online Video Clips offering daily, Free Music Videos, Movies, Free Movie Film, Video Games, Adult, Funny, Home Videos, Women, Teen Videos, ...
Setelah mengalami masalah perijinan dan pembukaannya ditunda-tunda, akhirnya Plaza Ambarrukmo dibuka pertama kali untuk masyarakat Jogja tanggal 5 Maret kemarin. Berbeda dengan rencana semula, acara tanggal 5 Maret ini bukan soft-opening, melainkan hanya pre-opening untuk memfasilitasi anchor tennant Carrefour—perusahaan ritel terbesar kedua di dunia—yang sudah tidak bisa menunggu untuk segera menjalankan operasinya di Jogja. Acara soft-opening sendiri direncanakan akan diadakan pada bulan Juni 2006, bergeser dari rencana awal yaitu bulan Desember 2005.
GANDHOK tengen (serambi kanan) Pesanggrahan Ambarrukmo yang menjadi rumah peristirahatan terakhir dan tempat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921) itu tampak mengenaskan. Alat berat menggempur sebagian dinding bangunan kuno tersebut. Genteng-genteng dilucuti, sebagian konstruksi penyangga atap pun dipreteli. Situs yang berada di atas tanah keraton di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu adalah satu dari 13 situs pesanggrahan milik Keraton Yogyakarta yang masih berdiri. Sebanyak 31 pesanggrahan lainnya sudah tak ada bekasnya lagi. Kondisi yang menyedihkan itu seperti menghapus citra Pesanggrahan Ambarrukmo sebagai tempat keramat dan bangunan cagar budaya yang semestinya dihargai dan dilestarikan. Pesanggrahan berarsitektur Jawa klasik itu dibangun pada masa Hamengku Buwono (HB) V (1823-1855), lalu disempurnakan oleh HB VII sebagai rumah peristirahatan yang dilengkapi dengan pendapa untuk menerima tamu dari Keraton Kesunanan Surakarta. Sejak awal Agustus 2004 bangunan bersejarah itu dibongkar oleh PT Putera Mataram Mitra Sejahtera (PT PMMS) dalam rangka pembangunan Plaza Ambarrukmo, bersebelahan dengan Hotel Ambarrukmo di tepi jalan raya Yogyakarta-Solo. Rencananya, separuh dari gandhok tengen yang telah dirobohkan akan dijadikan ruangan Plaza Ambarrukmo. Separuh sisanya akan dibiarkan dan menyatu dengan dinding plaza yang diarahkan sebagai pusat perbelanjaan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Kontras dengan situasi itu, sepekan sebelumnya, situs Pasiraman Umbul Binangun Tamansari seakan bangkit rohnya. Minggu (22/8) malam, Gubernur DIY Sultan HB X dan Ketua Yayasan Calouste Gulbenkian (Portugal) Dr Jose Blanco melepas dua pasang merpati putih di sana sebagai simbol kolaborasi dua bangsa setelah menyelesaikan rehabilitasi situs bersejarah itu. Sebanyak Rp 1,6 miliar dari Rp 2,5 miliar anggaran untuk rehabilitasi tersebut berasal dari Yayasan Calouste Gulbenkian dan sisanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kolam yang sebelum direhabilitasi airnya selalu keruh kehijauan itu kini jernih memantulkan cahaya. Dan, tembok yang semula kumuh dipenuhi lumut saat ini tampak indah walau bersahaja. Keindahan itu, menurut Sultan, jadi momentum kebangkitan Yogyakarta sebagai kota yang peduli pada warisan budaya, peninggalan sejarah bangsanya. "Marilah kita sambut peresmian Umbul Binangun Tamansari ini dalam rangka membangun citra Yogyakarta sebagai kota antik, yaitu kota kultural yang kaya citra, yang dihargai dunia," ujar Sultan. Namun, gerakan berpaling kembali pada kekayaan budaya ini masih diragukan banyak kalangan. Masalahnya, sekarang ini gempuran gurita mal-mal yang terus menjamur di Yogyakarta kian merajalela. "Sayang, pusaka yang lain, yaitu Pesanggrahan Ambarrukmo, kini terancam mati karena dikepung mal. Bahkan, gandhok tengen di kanan pendapa sudah dirobohkan. Ironis, saat Tamansari baru akan dihidupkan lagi, pusaka yang lain disirnakan," kata Ketua Jogjakarta Heritage Society (JHS) Dr Laretna T Adishakti, setelah malam peresmian itu. Paradoks itu menegaskan posisi Yogyakarta yang sedang tercenung di persimpangan jalan: antara keinginan untuk melestarikan warisan budaya dan tergoda membangun pusat-pusat perbelanjaan. KINI pembongkaran gandhok tengen Ambarrukmo itu menuai protes dari kalangan pemerhati budaya karena dinilai tidak menghargai cagar budaya yang dilindungi, dan menabrak visi Yogyakarta sebagai kota budaya. Direktur Eksekutif JHS Titi Handayani dan konsultan lingkungan Pemerintah Provinsi DIY Prof Dr Otto Soemarwoto mengimbau agar perusakan budaya itu segera dihentikan dan pesanggrahan tersebut dikembalikan sebagaimana aslinya. Titi Handayani menganggap pembongkaran itu sebagai ironi budaya yang menyedihkan. Bagaimana tidak, ketika kota- kota besar di luar negeri mati-matian merehabilitasi bangunan bersejarah selama bertahun-tahun dengan biaya besar, Yogyakarta justru merusak bangunan bersejarahnya. Padahal, League of World Historic Cities di Kyoto, Jepang, tahun 1994 menetapkan Yogyakarta sebagai salah satu dari 61 kota bersejarah di dunia. Otto Soemarwoto yang menyusun Agenda 21 DIY memaparkan, model pembangunan di Yogyakarta seharusnya didasarkan pada budaya. "Jika terjadi konflik antara kepentingan ekonomi dan budaya, yang harus dimenangkan adalah budaya," katanya. Kasus Plaza Ambarrukmo itu mencuatkan terjadinya konflik kepentingan di internal Keraton Yogyakarta. Ini tercermin dari terbitnya surat imbauan yang ditulis KGPH Hadiwinoto-adik Sultan HB X-selaku Pengageng Kawedhanan Hageng Punokawan Wahanasartakriya (Kepala Departemen Agraria dan Bangunan) Keraton Yogyakarta, yang ditujukan kepada pihak PT PMMS tanggal 5 Agustus 2004. "Sebaiknya bangunan lama yang akan disisakan tetap dibiarkan apa adanya, tidak perlu dirobohkan lalu dibangun kembali supaya tetap asli, apa adanya, sebagai bukti sejarah," tulis Hadiwinoto. Surat itu merupakan jawaban atas permohonan izin pembongkaran dan rekonstruksi bangunan gandhok tengen Pesanggrahan Ambarrukmo yang diajukan PT PMMS kepada Sultan HB X yang juga Gubernur DIY. Tetapi, Humas PT PMMS Nina Udayatri mengaku belum membaca surat dari Hadiwinoto. Dalam surat tertanggal 29 Juni 2004, Direktur PT PMMS yang membangun Plaza Ambarrukmo Tjia Eddy Susanto meminta izin untuk membongkar dan membangun kembali gandhok tengen. Namun, tanpa rincian rencana bakal memangkas separuh dari bangunan gandhok tengen pesanggrahan tersebut. "Yang jelas, kami tidak berani jika tidak ada izin dari yang lebih tinggi. Bangunan ini kan dibangun di tanah keraton, dan sebagian pengelolaannya juga nanti dipegang keraton. Kami tidak mungkin berani sembarangan," ucap Nina. Ia menolak menjelaskan lebih jauh siapa yang dimaksud dengan yang "lebih tinggi" (dari Hadiwinoto). Ketika dikonfirmasi, Hadiwinoto juga mempertanyakan siapa yang dianggap (PT PMMS) lebih tinggi darinya. "Apakah yang dimaksud otoritas keraton atau pemerintahan? Saya akan segera memanggil PT PMMS untuk menjelaskan hal itu. Akan tetapi, kebijakan saya jelas, gandhok tengen itu tidak boleh dihilangkan. Harus dihargai. Kalau mau direnovasi, boleh saja tetapi harus dihormati," katanya tegas. Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) DIY Budiharja juga menegaskan, pihaknya tidak pernah merekomendasikan pembongkaran gandhok tengen Pesanggrahan Ambarrukmo. Bahkan, menurut dia, sejak awal dia telah meminta kepada PT PMMS agar gandhok tengen tersebut jangan dipangkas. Penggusuran gandhok tengen Pesanggrahan Ambarrukmo hanyalah satu dari sederet masalah yang timbul dalam pembangunan mal, dengan penyewa utamanya (anchor tenant) Carrefour itu. Masalah lain yang muncul saat pembangunan mal itu antara lain kebisingan, debu, kemacetan di Jalan Laksda Adisutjipto, serta 26 dinding rumah warga sekitar tempat plaza itu akan didirikan yang mengalami retak- retak. Sampai kini belum ada kompensasi atas dampak yang dirasakan warga tersebut. PLAZA Ambarrukmo hanyalah salah satu dari rencana pembangunan sejumlah mal dan sejenisnya di kawasan Yogyakarta. Kota pelajar ini pada tahun-tahun mendatang bakal dipenuhi mal atau gedung sejenisnya. Tercatat ada delapan mal yang akan dibangun. Padahal, di kota yang berpenduduk 507.427 jiwa (Badan Pusat Statistik/BPS 2002) itu, saat ini sudah terdapat dua mal, yakni Malioboro Mall dan Galeria Mall, ditambah sejumlah supermarket, baik di sepanjang Jalan Malioboro maupun Jalan Solo. Asisten Fasilitasi dan Investasi Sekretaris Daerah Provinsi DIY Sunjoto menjelaskan, pilihan pembangunan mal adalah keniscayaan untuk mendapatkan devisa besar dalam jangka pendek. "Pembangunan wisata, seperti Tamansari, hanya bisa dirasakan manfaatnya dalam jangka waktu yang sangat panjang. Kalau mal, dalam 20 tahun mendatang kami bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah DIY secara maksimal. Pendapatan itu sangat penting untuk menyokong biaya pembangunan dan dana pelaksanaan pemerintahan setelah realisasi otonomi daerah," ujarnya. Dengan dalih tersebut, Pemerintah Provinsi DIY berupaya memfasilitasi kalangan pengusaha untuk melakukan investasi dengan mendirikan pusat-pusat perbelanjaan. Perkembangan perekonomian di Provinsi DIY dari nilai investasi memang cukup mencengangkan. Tahun 1999, nilai investasi asing di Yogyakarta mencapai 35,544 juta dollar AS. Sampai April 2003 sudah mencapai 150 juta dollar AS. Investasi dalam negeri pada tahun 1999 mencapai Rp 67,936 miliar. Diperkirakan, investasi dalam negeri ini pun terus meningkat. Akan tetapi, angka-angka investasi itu belum menggambarkan tingkat kesejahteraan nyata masyarakat. Menurut BPS DIY, tingkat pendapatan per kapita penduduk di DIY dari tahun 1993 hingga kini tidak banyak berubah, yaitu dari Rp 1,592 juta/tahun hingga Rp 1,611 juta/tahun. Bahkan, di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo ada kecenderungan menurun. Oleh karena itu, kalaupun pilihan pembangunan untuk menggenjot ekonomi melalui pembangunan mal-mal adalah suatu keniscayaan, haruskah langkah itu membawa korban sedemikian besar, bahkan harus menghancurkan identitas Yogyakarta yang dibangun ratusan tahun? "Saya sebenarnya juga kurang setuju jika mal-mal itu dibangun di dalam kota sehingga beban kota menjadi sangat berat. Saya juga berharap pembangunan itu tidak merusak cagar budaya, tetapi itu di luar kuasa saya," kata Sunjoto.
Awal Desember 2004, puluhan ribu penduduk dari seluruh penjuru kota tampak memadati Jl. Slamet Riyadi, Surakarta (Solo). Maklum, di jalan protokol itu baru dibuka Solo Grand Mall (SGM), mal terlengkap dan terbesar di Kota Bengawan. ?Waktu pertama kali dibuka, pengunjung mencapai 40 ribu lebih. Sekarang, pada hari biasa rata-rata 25 ribu, tapi kalau liburan atau weekend bisa mencapai 30 ribu pengunjung,? kata General Manager SGM Yanto Zefani. Setelah dilanda kerusuhan Mei 1998 dan pasca Pemilu 1999, berdirinya SGM yang berkonsep mixed trade centre ini seperti menjadi simbol kebangkitan Solo. Sebaliknya Yogyakarta, yang sering disebut sebagai saudara tua Surakarta, tak pernah mengalami trauma apa pun. Yogya justru mendapat berkah dari setiap peristiwa kelam yang menimpa Solo. Itulah setidaknya yang diakui Bambang S. Priyohadi, Sekda Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). ?Terus terang peristiwa kerusuhan Solo memberikan andil besar dalam pertumbuhan ekonomi Yogya. DIY mengalami lonjakan besar setelah banyak pengusaha Solo yang mengalihkan bisnya ke Yogya,? kata Bambang. Ia menambahkan, pertumbuhan ekonomi DIY rata-rata 4,8% -- di atas angka pertumbuhan nasional. ?Faktor keamanan memang menjadi salah satu daya tarik kenapa banyak pebisnis Solo mengalihkan usahanya ke Yogya,? sambung Bambang. Bambang yakin prospek bisnis di Kota Gudeg sangat bagus. Sebagai indikator dia menunjuk banyak investor yang melirik kota ini sebagai ladang bisnis. Tak lama lagi, Yogya pun akan dijejali mal dan pusat perbelanjaan baru. Saat ini, misalnya, sedang dibangun Plaza Ambarukmo, yang menempati areal bekas Hotel Ambarukmo milik Kraton Yogya, seluas 2 hektare. Mal yang dikelola PT Putera Mataram Mitra Sejahtera (PMMS) ini diproyeksikan sebagai mal terbesar di Jawa Tengah dan DIY. Menurut Tjia Edi Susanto, Direktur PMMS, Plaza Ambarukmo menelan investasi Rp 240 miliar. Tidak semuanya dibangun atas rekening PMMS. Untuk membangun mal yang dicanangkan menjadi tempat belanja sekaligus wisata itu, PMMS menggandeng Dody Bayuaji (Alfa Retailindo) dan Bambang Sulistyo (HM Sampoerna). Meski belum jadi, Plaza Ambarukmo telah memiliki beberapa anchor tenant, antara lain Carrefour, Cineplex 21, Gramedia, dan Matahari Department Store. ?Kalau tidak ada halangan, awal tahun depan, Plaza Ambarukmo sudah beroperasi,? kata Tjia, yang yakin plaza ini akan diterima masyarakat dan mampu break even point dalam 4-5 tahun. Selain Plaza Ambarukmo, Yogya bakal diramaikan Makro dan Saphir Square yang kini juga dalam tahap pembangunan. Sebelumnya malah sempat ada ekspose bahwa PT Karunia Sejahtera Mandiri akan membangun Marvin Reeves Trade Centre di Jl. Magelang Km 4, Yogya. Cuma belakangan tak terdengar gaungnya. Sebuah sumber menyebut Marvin Reeves tak jadi dibangun karena bisnis mal di Yogya dinilai sudah jenuh. Sebagai indikator, ia menunjuk Jogjatronik -- mal di Jl. Brigjen Katamso dan dirancang PT Kaidi Indojaya sebagai pusat elektronik terbesar di DIY -- ternyata sepi pengunjung. Memang untuk membangun mal lagi di Yogya, menurut Bambang, para investor mesti berpikir ulang. Untuk menarik konsumen dari kota sekitarnya seperti Purwokerto, Kebumen, Purworejo, Magelang, Klaten dan Solo saat ini tidaklah gampang. Sebab, Solo -- kota bisnis terbesar di Ja-Teng yang dulu mati suri -- kini bangkit kembali lewat SGM. Apalagi, salah satu pemilik SGM adalah Willy Widodo Herlambang, pemilik rumah makan Grup Adem Ayem yang reputasi bisnisnya dikenal tangguh. Investasi yang dipertaruhkan di SGM sendiri mencapai Rp 175 miliar. Willy memang tidak sendirian membangun mal seluas 63 ribu m2 di atas lahan 1,2 ha itu. Dia telah menggandeng jagoan properti dari Bandung, Chandra Tambayong (pemilik Bandung Inti Graha). Dengan kontribusi 50:50, mereka mendirikan PT Prasarana Griya Sarana Bangun. Perusahaan inilah yang memayungi operasional SGM. Menurut Yanto, pendirian SGM sebenarnya obsesi Willy sejak 1996 yang baru terwujud setelah ketemu Chandra. Setelah terwujud, hasilnya layak dibanggakan. SGM langsung mendapat tempat di hati masyarakat Solo. Bahkan Hypermart, yang menempati areal 5.000 m2 di SGM, mencetak omset terbesar dibanding Hypermart lain di Indonesia saat pembukaan. Omsetnya seperti dikatakan Yanto, sampai di atas Rp 1 miliar. Tenant besar lain seperti Matahari Department Store, Gramedia, Timezone, Fila Sport, KFC, Texas Fried Chicken dan Salon Rudy Hadisuwarno, juga membukukan penjualan bagus. Namun, SGM nampaknya tak akan lama malang melintang sendirian di Solo. Tak lama lagi, mal dan trade centre lain segera meramaikan kota ini. Ciputra Sun Mall (milik Grup Ciptra dan Sun Motor), misalnya, siap menyusul. Ditambah: Mall Laweyan, Shoping Mall, Solo Square dan Pusat Grosir Solo. Daftar ini bisa diperpanjang, misalnya dengan Beteng Trade Centre (BTC), yang kini akan dihidupkan kembali dari puing-puingnya oleh sang pemilik Kunto Harjono. Di Solo, Kunto dikenal sebagai pengusaha properti di bawah bendera Pondok Solo Permai. Untuk menghidupkan kembali BTC, Kunto telah menggandeng Willy. Willy dan Kunto yakin bahwa pasar bisnis mal di Solo masih besar. Jauh lebih besar ketimbang di Kota Gudeg yang sudah jenuh. Willy mengklaim, dari 550 gerai yang disewakannya di SGM, 75% sudah laku. Jangka waktu sewanya 5-20 tahun dengan tarif Rp 100-150 ribu/m2/bulan. ?Kami menargetkan semua gerai akan buka pada Juni mendatang,? kata Yanto. Toh dia belum puas. Untuk meramaikan SGM, dia menjalin kerja sama dengan PT Mavindo Pratama, event organizer yang khusus mengelola pameran di mal. Lewat kerja sama itu, beberapa pameran telah diselenggarakan di SGM, misalnya pameran otomotif, perumahan, elektronik, kerajinan, dan lain-lain. Hasilnya? ?Cukup bagus. Banyak transaksi terjadi setiap kali pameran. Respons masyarakat sangat antusias untuk ikut pameran,? kata Rahmad Hidayat, bos Mavindo Pratama. Misalnya, ?Toyota berhasil memperoleh order penjualan 50 unit mobil dalam pameran,? tambahnya