Yogyakarta di Persimpangan Jalan
GANDHOK tengen (serambi kanan) Pesanggrahan Ambarrukmo yang menjadi rumah peristirahatan terakhir dan tempat meninggalnya Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921) itu tampak mengenaskan. Alat berat menggempur sebagian dinding bangunan kuno tersebut. Genteng-genteng dilucuti, sebagian konstruksi penyangga atap pun dipreteli.
Situs yang berada di atas tanah keraton di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu adalah satu dari 13 situs pesanggrahan milik Keraton Yogyakarta yang masih berdiri. Sebanyak 31 pesanggrahan lainnya sudah tak ada bekasnya lagi.
Kondisi yang menyedihkan itu seperti menghapus citra Pesanggrahan Ambarrukmo sebagai tempat keramat dan bangunan cagar budaya yang semestinya dihargai dan dilestarikan. Pesanggrahan berarsitektur Jawa klasik itu dibangun pada masa Hamengku Buwono (HB) V (1823-1855), lalu disempurnakan oleh HB VII sebagai rumah peristirahatan yang dilengkapi dengan pendapa untuk menerima tamu dari Keraton Kesunanan Surakarta.
Sejak awal Agustus 2004 bangunan bersejarah itu dibongkar oleh PT Putera Mataram Mitra Sejahtera (PT PMMS) dalam rangka pembangunan Plaza Ambarrukmo, bersebelahan dengan Hotel Ambarrukmo di tepi jalan raya Yogyakarta-Solo. Rencananya, separuh dari gandhok tengen yang telah dirobohkan akan dijadikan ruangan Plaza Ambarrukmo. Separuh sisanya akan dibiarkan dan menyatu dengan dinding plaza yang diarahkan sebagai pusat perbelanjaan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.
Kontras dengan situasi itu, sepekan sebelumnya, situs Pasiraman Umbul Binangun Tamansari seakan bangkit rohnya. Minggu (22/8) malam, Gubernur DIY Sultan HB X dan Ketua Yayasan Calouste Gulbenkian (Portugal) Dr Jose Blanco melepas dua pasang merpati putih di sana sebagai simbol kolaborasi dua bangsa setelah menyelesaikan rehabilitasi situs bersejarah itu.
Sebanyak Rp 1,6 miliar dari Rp 2,5 miliar anggaran untuk rehabilitasi tersebut berasal dari Yayasan Calouste Gulbenkian dan sisanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kolam yang sebelum direhabilitasi airnya selalu keruh kehijauan itu kini jernih memantulkan cahaya. Dan, tembok yang semula kumuh dipenuhi lumut saat ini tampak indah walau bersahaja. Keindahan itu, menurut Sultan, jadi momentum kebangkitan Yogyakarta sebagai kota yang peduli pada warisan budaya, peninggalan sejarah bangsanya. "Marilah kita sambut peresmian Umbul Binangun Tamansari ini dalam rangka membangun citra Yogyakarta sebagai kota antik, yaitu kota kultural yang kaya citra, yang dihargai dunia," ujar Sultan.
Namun, gerakan berpaling kembali pada kekayaan budaya ini masih diragukan banyak kalangan. Masalahnya, sekarang ini gempuran gurita mal-mal yang terus menjamur di Yogyakarta kian merajalela. "Sayang, pusaka yang lain, yaitu Pesanggrahan Ambarrukmo, kini terancam mati karena dikepung mal. Bahkan, gandhok tengen di kanan pendapa sudah dirobohkan. Ironis, saat Tamansari baru akan dihidupkan lagi, pusaka yang lain disirnakan," kata Ketua Jogjakarta Heritage Society (JHS) Dr Laretna T Adishakti, setelah malam peresmian itu.
Paradoks itu menegaskan posisi Yogyakarta yang sedang tercenung di persimpangan jalan: antara keinginan untuk melestarikan warisan budaya dan tergoda membangun pusat-pusat perbelanjaan.
KINI pembongkaran gandhok tengen Ambarrukmo itu menuai protes dari kalangan pemerhati budaya karena dinilai tidak menghargai cagar budaya yang dilindungi, dan menabrak visi Yogyakarta sebagai kota budaya. Direktur Eksekutif JHS Titi Handayani dan konsultan lingkungan Pemerintah Provinsi DIY Prof Dr Otto Soemarwoto mengimbau agar perusakan budaya itu segera dihentikan dan pesanggrahan tersebut dikembalikan sebagaimana aslinya.
Titi Handayani menganggap pembongkaran itu sebagai ironi budaya yang menyedihkan. Bagaimana tidak, ketika kota- kota besar di luar negeri mati-matian merehabilitasi bangunan bersejarah selama bertahun-tahun dengan biaya besar, Yogyakarta justru merusak bangunan bersejarahnya. Padahal, League of World Historic Cities di Kyoto, Jepang, tahun 1994 menetapkan Yogyakarta sebagai salah satu dari 61 kota bersejarah di dunia.
Otto Soemarwoto yang menyusun Agenda 21 DIY memaparkan, model pembangunan di Yogyakarta seharusnya didasarkan pada budaya. "Jika terjadi konflik antara kepentingan ekonomi dan budaya, yang harus dimenangkan adalah budaya," katanya.
Kasus Plaza Ambarrukmo itu mencuatkan terjadinya konflik kepentingan di internal Keraton Yogyakarta. Ini tercermin dari terbitnya surat imbauan yang ditulis KGPH Hadiwinoto-adik Sultan HB X-selaku Pengageng Kawedhanan Hageng Punokawan Wahanasartakriya (Kepala Departemen Agraria dan Bangunan) Keraton Yogyakarta, yang ditujukan kepada pihak PT PMMS tanggal 5 Agustus 2004.
"Sebaiknya bangunan lama yang akan disisakan tetap dibiarkan apa adanya, tidak perlu dirobohkan lalu dibangun kembali supaya tetap asli, apa adanya, sebagai bukti sejarah," tulis Hadiwinoto.
Surat itu merupakan jawaban atas permohonan izin pembongkaran dan rekonstruksi bangunan gandhok tengen Pesanggrahan Ambarrukmo yang diajukan PT PMMS kepada Sultan HB X yang juga Gubernur DIY. Tetapi, Humas PT PMMS Nina Udayatri mengaku belum membaca surat dari Hadiwinoto.
Dalam surat tertanggal 29 Juni 2004, Direktur PT PMMS yang membangun Plaza Ambarrukmo Tjia Eddy Susanto meminta izin untuk membongkar dan membangun kembali gandhok tengen. Namun, tanpa rincian rencana bakal memangkas separuh dari bangunan gandhok tengen pesanggrahan tersebut.
"Yang jelas, kami tidak berani jika tidak ada izin dari yang lebih tinggi. Bangunan ini kan dibangun di tanah keraton, dan sebagian pengelolaannya juga nanti dipegang keraton. Kami tidak mungkin berani sembarangan," ucap Nina.
Ia menolak menjelaskan lebih jauh siapa yang dimaksud dengan yang "lebih tinggi" (dari Hadiwinoto).
Ketika dikonfirmasi, Hadiwinoto juga mempertanyakan siapa yang dianggap (PT PMMS) lebih tinggi darinya. "Apakah yang dimaksud otoritas keraton atau pemerintahan? Saya akan segera memanggil PT PMMS untuk menjelaskan hal itu. Akan tetapi, kebijakan saya jelas, gandhok tengen itu tidak boleh dihilangkan. Harus dihargai. Kalau mau direnovasi, boleh saja tetapi harus dihormati," katanya tegas.
Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) DIY Budiharja juga menegaskan, pihaknya tidak pernah merekomendasikan pembongkaran gandhok tengen Pesanggrahan Ambarrukmo. Bahkan, menurut dia, sejak awal dia telah meminta kepada PT PMMS agar gandhok tengen tersebut jangan dipangkas.
Penggusuran gandhok tengen Pesanggrahan Ambarrukmo hanyalah satu dari sederet masalah yang timbul dalam pembangunan mal, dengan penyewa utamanya (anchor tenant) Carrefour itu. Masalah lain yang muncul saat pembangunan mal itu antara lain kebisingan, debu, kemacetan di Jalan Laksda Adisutjipto, serta 26 dinding rumah warga sekitar tempat plaza itu akan didirikan yang mengalami retak- retak. Sampai kini belum ada kompensasi atas dampak yang dirasakan warga tersebut.
PLAZA Ambarrukmo hanyalah salah satu dari rencana pembangunan sejumlah mal dan sejenisnya di kawasan Yogyakarta. Kota pelajar ini pada tahun-tahun mendatang bakal dipenuhi mal atau gedung sejenisnya. Tercatat ada delapan mal yang akan dibangun. Padahal, di kota yang berpenduduk 507.427 jiwa (Badan Pusat Statistik/BPS 2002) itu, saat ini sudah terdapat dua mal, yakni Malioboro Mall dan Galeria Mall, ditambah sejumlah supermarket, baik di sepanjang Jalan Malioboro maupun Jalan Solo.
Asisten Fasilitasi dan Investasi Sekretaris Daerah Provinsi DIY Sunjoto menjelaskan, pilihan pembangunan mal adalah keniscayaan untuk mendapatkan devisa besar dalam jangka pendek. "Pembangunan wisata, seperti Tamansari, hanya bisa dirasakan manfaatnya dalam jangka waktu yang sangat panjang. Kalau mal, dalam 20 tahun mendatang kami bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah DIY secara maksimal. Pendapatan itu sangat penting untuk menyokong biaya pembangunan dan dana pelaksanaan pemerintahan setelah realisasi otonomi daerah," ujarnya.
Dengan dalih tersebut, Pemerintah Provinsi DIY berupaya memfasilitasi kalangan pengusaha untuk melakukan investasi dengan mendirikan pusat-pusat perbelanjaan. Perkembangan perekonomian di Provinsi DIY dari nilai investasi memang cukup mencengangkan. Tahun 1999, nilai investasi asing di Yogyakarta mencapai 35,544 juta dollar AS. Sampai April 2003 sudah mencapai 150 juta dollar AS. Investasi dalam negeri pada tahun 1999 mencapai Rp 67,936 miliar. Diperkirakan, investasi dalam negeri ini pun terus meningkat.
Akan tetapi, angka-angka investasi itu belum menggambarkan tingkat kesejahteraan nyata masyarakat. Menurut BPS DIY, tingkat pendapatan per kapita penduduk di DIY dari tahun 1993 hingga kini tidak banyak berubah, yaitu dari Rp 1,592 juta/tahun hingga Rp 1,611 juta/tahun. Bahkan, di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo ada kecenderungan menurun.
Oleh karena itu, kalaupun pilihan pembangunan untuk menggenjot ekonomi melalui pembangunan mal-mal adalah suatu keniscayaan, haruskah langkah itu membawa korban sedemikian besar, bahkan harus menghancurkan identitas Yogyakarta yang dibangun ratusan tahun?
"Saya sebenarnya juga kurang setuju jika mal-mal itu dibangun di dalam kota sehingga beban kota menjadi sangat berat. Saya juga berharap pembangunan itu tidak merusak cagar budaya, tetapi itu di luar kuasa saya," kata Sunjoto.
Situs yang berada di atas tanah keraton di Desa Caturtunggal, Kecamatan Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), itu adalah satu dari 13 situs pesanggrahan milik Keraton Yogyakarta yang masih berdiri. Sebanyak 31 pesanggrahan lainnya sudah tak ada bekasnya lagi.
Kondisi yang menyedihkan itu seperti menghapus citra Pesanggrahan Ambarrukmo sebagai tempat keramat dan bangunan cagar budaya yang semestinya dihargai dan dilestarikan. Pesanggrahan berarsitektur Jawa klasik itu dibangun pada masa Hamengku Buwono (HB) V (1823-1855), lalu disempurnakan oleh HB VII sebagai rumah peristirahatan yang dilengkapi dengan pendapa untuk menerima tamu dari Keraton Kesunanan Surakarta.
Sejak awal Agustus 2004 bangunan bersejarah itu dibongkar oleh PT Putera Mataram Mitra Sejahtera (PT PMMS) dalam rangka pembangunan Plaza Ambarrukmo, bersebelahan dengan Hotel Ambarrukmo di tepi jalan raya Yogyakarta-Solo. Rencananya, separuh dari gandhok tengen yang telah dirobohkan akan dijadikan ruangan Plaza Ambarrukmo. Separuh sisanya akan dibiarkan dan menyatu dengan dinding plaza yang diarahkan sebagai pusat perbelanjaan masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.
Kontras dengan situasi itu, sepekan sebelumnya, situs Pasiraman Umbul Binangun Tamansari seakan bangkit rohnya. Minggu (22/8) malam, Gubernur DIY Sultan HB X dan Ketua Yayasan Calouste Gulbenkian (Portugal) Dr Jose Blanco melepas dua pasang merpati putih di sana sebagai simbol kolaborasi dua bangsa setelah menyelesaikan rehabilitasi situs bersejarah itu.
Sebanyak Rp 1,6 miliar dari Rp 2,5 miliar anggaran untuk rehabilitasi tersebut berasal dari Yayasan Calouste Gulbenkian dan sisanya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Kolam yang sebelum direhabilitasi airnya selalu keruh kehijauan itu kini jernih memantulkan cahaya. Dan, tembok yang semula kumuh dipenuhi lumut saat ini tampak indah walau bersahaja. Keindahan itu, menurut Sultan, jadi momentum kebangkitan Yogyakarta sebagai kota yang peduli pada warisan budaya, peninggalan sejarah bangsanya. "Marilah kita sambut peresmian Umbul Binangun Tamansari ini dalam rangka membangun citra Yogyakarta sebagai kota antik, yaitu kota kultural yang kaya citra, yang dihargai dunia," ujar Sultan.
Namun, gerakan berpaling kembali pada kekayaan budaya ini masih diragukan banyak kalangan. Masalahnya, sekarang ini gempuran gurita mal-mal yang terus menjamur di Yogyakarta kian merajalela. "Sayang, pusaka yang lain, yaitu Pesanggrahan Ambarrukmo, kini terancam mati karena dikepung mal. Bahkan, gandhok tengen di kanan pendapa sudah dirobohkan. Ironis, saat Tamansari baru akan dihidupkan lagi, pusaka yang lain disirnakan," kata Ketua Jogjakarta Heritage Society (JHS) Dr Laretna T Adishakti, setelah malam peresmian itu.
Paradoks itu menegaskan posisi Yogyakarta yang sedang tercenung di persimpangan jalan: antara keinginan untuk melestarikan warisan budaya dan tergoda membangun pusat-pusat perbelanjaan.
KINI pembongkaran gandhok tengen Ambarrukmo itu menuai protes dari kalangan pemerhati budaya karena dinilai tidak menghargai cagar budaya yang dilindungi, dan menabrak visi Yogyakarta sebagai kota budaya. Direktur Eksekutif JHS Titi Handayani dan konsultan lingkungan Pemerintah Provinsi DIY Prof Dr Otto Soemarwoto mengimbau agar perusakan budaya itu segera dihentikan dan pesanggrahan tersebut dikembalikan sebagaimana aslinya.
Titi Handayani menganggap pembongkaran itu sebagai ironi budaya yang menyedihkan. Bagaimana tidak, ketika kota- kota besar di luar negeri mati-matian merehabilitasi bangunan bersejarah selama bertahun-tahun dengan biaya besar, Yogyakarta justru merusak bangunan bersejarahnya. Padahal, League of World Historic Cities di Kyoto, Jepang, tahun 1994 menetapkan Yogyakarta sebagai salah satu dari 61 kota bersejarah di dunia.
Otto Soemarwoto yang menyusun Agenda 21 DIY memaparkan, model pembangunan di Yogyakarta seharusnya didasarkan pada budaya. "Jika terjadi konflik antara kepentingan ekonomi dan budaya, yang harus dimenangkan adalah budaya," katanya.
Kasus Plaza Ambarrukmo itu mencuatkan terjadinya konflik kepentingan di internal Keraton Yogyakarta. Ini tercermin dari terbitnya surat imbauan yang ditulis KGPH Hadiwinoto-adik Sultan HB X-selaku Pengageng Kawedhanan Hageng Punokawan Wahanasartakriya (Kepala Departemen Agraria dan Bangunan) Keraton Yogyakarta, yang ditujukan kepada pihak PT PMMS tanggal 5 Agustus 2004.
"Sebaiknya bangunan lama yang akan disisakan tetap dibiarkan apa adanya, tidak perlu dirobohkan lalu dibangun kembali supaya tetap asli, apa adanya, sebagai bukti sejarah," tulis Hadiwinoto.
Surat itu merupakan jawaban atas permohonan izin pembongkaran dan rekonstruksi bangunan gandhok tengen Pesanggrahan Ambarrukmo yang diajukan PT PMMS kepada Sultan HB X yang juga Gubernur DIY. Tetapi, Humas PT PMMS Nina Udayatri mengaku belum membaca surat dari Hadiwinoto.
Dalam surat tertanggal 29 Juni 2004, Direktur PT PMMS yang membangun Plaza Ambarrukmo Tjia Eddy Susanto meminta izin untuk membongkar dan membangun kembali gandhok tengen. Namun, tanpa rincian rencana bakal memangkas separuh dari bangunan gandhok tengen pesanggrahan tersebut.
"Yang jelas, kami tidak berani jika tidak ada izin dari yang lebih tinggi. Bangunan ini kan dibangun di tanah keraton, dan sebagian pengelolaannya juga nanti dipegang keraton. Kami tidak mungkin berani sembarangan," ucap Nina.
Ia menolak menjelaskan lebih jauh siapa yang dimaksud dengan yang "lebih tinggi" (dari Hadiwinoto).
Ketika dikonfirmasi, Hadiwinoto juga mempertanyakan siapa yang dianggap (PT PMMS) lebih tinggi darinya. "Apakah yang dimaksud otoritas keraton atau pemerintahan? Saya akan segera memanggil PT PMMS untuk menjelaskan hal itu. Akan tetapi, kebijakan saya jelas, gandhok tengen itu tidak boleh dihilangkan. Harus dihargai. Kalau mau direnovasi, boleh saja tetapi harus dihormati," katanya tegas.
Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) DIY Budiharja juga menegaskan, pihaknya tidak pernah merekomendasikan pembongkaran gandhok tengen Pesanggrahan Ambarrukmo. Bahkan, menurut dia, sejak awal dia telah meminta kepada PT PMMS agar gandhok tengen tersebut jangan dipangkas.
Penggusuran gandhok tengen Pesanggrahan Ambarrukmo hanyalah satu dari sederet masalah yang timbul dalam pembangunan mal, dengan penyewa utamanya (anchor tenant) Carrefour itu. Masalah lain yang muncul saat pembangunan mal itu antara lain kebisingan, debu, kemacetan di Jalan Laksda Adisutjipto, serta 26 dinding rumah warga sekitar tempat plaza itu akan didirikan yang mengalami retak- retak. Sampai kini belum ada kompensasi atas dampak yang dirasakan warga tersebut.
PLAZA Ambarrukmo hanyalah salah satu dari rencana pembangunan sejumlah mal dan sejenisnya di kawasan Yogyakarta. Kota pelajar ini pada tahun-tahun mendatang bakal dipenuhi mal atau gedung sejenisnya. Tercatat ada delapan mal yang akan dibangun. Padahal, di kota yang berpenduduk 507.427 jiwa (Badan Pusat Statistik/BPS 2002) itu, saat ini sudah terdapat dua mal, yakni Malioboro Mall dan Galeria Mall, ditambah sejumlah supermarket, baik di sepanjang Jalan Malioboro maupun Jalan Solo.
Asisten Fasilitasi dan Investasi Sekretaris Daerah Provinsi DIY Sunjoto menjelaskan, pilihan pembangunan mal adalah keniscayaan untuk mendapatkan devisa besar dalam jangka pendek. "Pembangunan wisata, seperti Tamansari, hanya bisa dirasakan manfaatnya dalam jangka waktu yang sangat panjang. Kalau mal, dalam 20 tahun mendatang kami bisa meningkatkan Pendapatan Asli Daerah DIY secara maksimal. Pendapatan itu sangat penting untuk menyokong biaya pembangunan dan dana pelaksanaan pemerintahan setelah realisasi otonomi daerah," ujarnya.
Dengan dalih tersebut, Pemerintah Provinsi DIY berupaya memfasilitasi kalangan pengusaha untuk melakukan investasi dengan mendirikan pusat-pusat perbelanjaan. Perkembangan perekonomian di Provinsi DIY dari nilai investasi memang cukup mencengangkan. Tahun 1999, nilai investasi asing di Yogyakarta mencapai 35,544 juta dollar AS. Sampai April 2003 sudah mencapai 150 juta dollar AS. Investasi dalam negeri pada tahun 1999 mencapai Rp 67,936 miliar. Diperkirakan, investasi dalam negeri ini pun terus meningkat.
Akan tetapi, angka-angka investasi itu belum menggambarkan tingkat kesejahteraan nyata masyarakat. Menurut BPS DIY, tingkat pendapatan per kapita penduduk di DIY dari tahun 1993 hingga kini tidak banyak berubah, yaitu dari Rp 1,592 juta/tahun hingga Rp 1,611 juta/tahun. Bahkan, di Kabupaten Bantul dan Kabupaten Kulon Progo ada kecenderungan menurun.
Oleh karena itu, kalaupun pilihan pembangunan untuk menggenjot ekonomi melalui pembangunan mal-mal adalah suatu keniscayaan, haruskah langkah itu membawa korban sedemikian besar, bahkan harus menghancurkan identitas Yogyakarta yang dibangun ratusan tahun?
"Saya sebenarnya juga kurang setuju jika mal-mal itu dibangun di dalam kota sehingga beban kota menjadi sangat berat. Saya juga berharap pembangunan itu tidak merusak cagar budaya, tetapi itu di luar kuasa saya," kata Sunjoto.